Sabtu, 26 Desember 2015

"Long Black Zulfan Amroe"

SKALA. Seperti peta, anda bebas membandingkan ke skala berapa saja tentang seorang Laki-laki di tulisan ini. Ini cerita tentang seorang Laki-laki yang menjadikan sang Ayah sebagai. "My Hero". Dia tidak pernah mau tunduk pada keterbatasan dalam menyelesaikan pendidikannya. Lelaki yang selalu belajar dari manapun, yang kerap menelantarkan kesenangannya hanya untuk memberi orang lain sepotong harapan . Laki-laki yang terus, dan selalu berjuang demi apa yang diyakininnya benar. Lelaki yang tulus menumbuhkan kebaikan pada orang lain, walaupun tanahnya tidak sesubur itu. Sejauh manapun kamu pertualangi, tetap saja tanahnya tidak akan bisa kamu taklukan. Dia laki-laki berhati gunung.
Malam ini 15 Safar, Purnama tidak nampak didekap mendung. Pukul 20:00 di luar kedai Kopi SKALA, hujan turun rintik-rintik. Saya berjalan dibelakangnya. Laki-laki berkulit hitam manis itu bergegas masuk sambil sigap memilih tepat duduk dengan matanya di teras toko.
Meja kayu persegi empat yang dipilihnya bertuliskan "Payung 2". Kursi meja berpayung hijau itu ditariknya dengan tangan kanan. Tangan kirinya lekas melepas tas hitam kusam berisi laptop yang selalu dipanggulnya kemanapun dia pergi. Kursi kayu jati berwarna serat kayu itu menghadap langsung ke Jalan Protokol Panggo Raya. Saya memilih duduk di sebelah kirinya.
Pelayan datang menghampiri. "Long Black satu," Pesan Zulfan Amroe. Saya membuka menu. "White plot," kata saya.
Seperti biasa, memang tidak ada agenda khusus malam ini. Mencari tempat santai untuk ngopi merupakan kebiasaan setiap kami berjumpa untuk sekedar bercengkrama kesana-kemari tentang apa saja yang terlintas dipikiran. Seperti apa yang terjadi di sekitarnya dan saya, Sedikit mengelitik politik seakan kami pengamat paling tahu, sekali-kali mengenal bangga pada kawan-kawan sekitar, menertawakan diri sendiri, maupun saling menghibur diri dengan mengupas kenangan dibeberapa pelosok desa yang pernah kami datangi bersama. Walaupun kenangan itu sudah disegarkan berpuluh kali bertemu, tapi dalam berbagai nuagsa rindu, tentu kenikmatannya selalu tiba dengan berbeda. Malam ini kami benar-benar rindu Tangse, Desa Pulo Senong yang damai.
Hujan masih turun, udara kian dingin memeluk erat tubuh saya yang tidak berjaket. Saya pernah tinggal dengannya selama 1 tahun lebih, karena itu saya tau dia suka hujan, mungkin alasan itu juga dia memilih duduk di tepi ciprakannya meski udara dingin terasa mengigit.
Kopi di gelasnya nya tinggal setenggah lagi . Satu jam sudah kami mengelana dari timur-ke barat, selatan dan utara kampung kelahirannya.
Saya tidak tau banyak hal pribadi lelaki yang sejak SMA sudah merantau ke Banda Aceh dari kampung halamannya Panggoi, Lhoksemawe. Pertama kali bertemu dengannya, dia merupakan seorang senior yang kerap disebut di kalangan kampus saya sebagai aktivis yang kaya aktivitas sosial. hingga akhirnya, dia menjadi tempat saya pertama belajar menulis.
Pukul 10 malam, hujan belum juga reda. Suasana malam ini semakin syahdu. entah bagaimana awal mulanya kami mulai bercerita tentang diri masing-masing .
Tentang, sosok ayah yang membawa perubahan besar dalam cara pandang kehidupannya, tentang impiannya menjadi seorang pendidik dan punya yayasan pendidikan sendiri suatu saat nanti.
Jika ditanya tentang ayahnya yang kini berusia 60-an, dia akan selalu berkata "My Hero". Kata itu kerap saya dengar darinya saat menjawab dengan rapi pertanyaan kawan-kawannya tentang kuliahnya yang tak kian usai. Lelaki itu memang seperti punya se-samudra sabar untuk menjawab setiap pertanyaan "kapan selesai kuliahnya? Kenapa tidak selesai- selesai?" atau ba-bi-bu yang bagi sebahagian orang yang berada di posisinya pasti merasa sangat menjengkelkan harus mengulangi jawaban yang mungkin tidak mampu dicerna para penakut atau pengecut.
Waktu terus berjalan dengan sendirinya, saya masih mendengarnya baik-baik. Dia terus bercerita tentang bagaimana heroiknya sang ayah dalam hidupnya. Dia memang sudah banyak bercerita beberapa saat tadi, bagaimana dia begitu disayang ayahnya, Kemanapun ayahnya pergi, dari 2 orang anak laki-laki dan 2 orang kakak perempuannya, dia anak laki- laki yang sering dibawa-kemanapun ayahnya pergi. Karena itu, dia punya banyak kenangan manis tentang ayahnya.
Meskipun begitu, ada satu hal yang membuat dia bersedih bila mengigat sosok ayahnya. Bagaimanapun kondisi ayahnya saat dia pulang ke kampung, sang ayah hanya berpesan satu hal padanya. "Selesaikan kuliahmu". Dan itu juga merupakan sebuah kepuasan yang ingin dia tunjukan pada ayahnya, di samping bagi dirinya sendiri mengangap apapun pencapaian yang sudah didapat, jika tidak punya pendidikan, maka semua akan sia-sia. Ironis memang mengigat selama 16 tahun dia belum juga selesai S1. Namun lelaki murah senyum itu punya pemikiran yang unik. Bukan Zulfan Amroe namanya bila menyerah pada masalah.
"Ayah kemarin sakit, saya merasa sedih melihat dia terbaring lemas dengan tubuh yang kian tua. saya merasa begitulah saat aku masih kecil dulu, saya dipanggul ke kamar mandi, diganti pakaian olehnya." Katanya dengan raut wajah penuh kesedihan.
"Saya sempat menyelinapkan air mata, saat mengingat belum bisa memenuhi permintaannya, dan itu juga keinginan saya. Selain ibu, Ayah memang orang yang paling tau saya, orang yang paling menyanggi saya, dia paham bagaimana jiwa saya. Bagi saya sendiri, bagaimanapun juga Pendidikan itu memang penting."
"Selesaikanlah kuliahmu, Bang." Sela saya menyemangatinya. Karena saya tau selama dekat dengannya, bahwa sosok ayah yang kian renta itu sangat disayanginya. Sampai-sampai dia membuatkan sebuah lagu yang berjudul "Ayah" dan nasehat seorang ibu pada anaknya, "Neuk". Dia memang berjiwa seni.
Tiba-tiba saya teringat ketika pada penghujung 2014 dulu di Melaboh. Saat itu, saya di ajaknya menuju Aceh Selatan sampai ke Betong Ateuh, kabupaten Nagan Raya untuk mewawancarai kepala desa yang desanya terdapat kegiatan perusahaan penambang emas.
Kala itu, Aceh sedang dinyatakan oleh Gebernur Zaini Abdullah dalam status "Moratorium Tambang". Pekerjaan surveyor itu diberikan oleh Kolisi Penyelamatan Hutan Aceh [KPHA] dalam mengawasi Perusahaan yang berada di beberapa wilayah Aceh. Perjalanan selama 7 hari itu, kami tempuh berdua dengan sepeda motor.
November memang bulan penghujan. Hari ke Empat, Zulfan yang mengajak saya menginap di seketariatan Mapala Tarantula, Universitas Tengku Umar Melaboh. Mapala memang dikenal dengan sifat kekeluargaanya yang erat, jangan harap bisa selamat dari bullyan, bila tiba-tiba kami tidak singgah di tempat itu jika ketauan melewati Melaboh. Bisa-bisa tidak dianggap saudara lagi... Memang begitu adatnya.
kami sampai di sana pukul 10 malam. Sehabis mengeringkan badan akibat kehujanan, kami ikut duduk di teras bersama teman-teman yang lain. Lagu Zulfan rupanya digandrungi mereka juga, oleh karena itu, Zulfan sering diharuskan memaikan lagu untuk mereka setiap berjumpa. 

Gitar terus digelitik dengan beberapa lagu tentang cinta dan kritik social ciptaannya bersama kawan-kawan. Setelah beberapa lagu dinyayikan, saya meminta dia memainkan lagu "Ayah". Tanpa berkata, dia langsung memaikan gitar dengan pelan, semetara suara hujan dan sahutan Katak digenangan air sekitar, seakan terdengar ikut ambil andil dalam mengiring kolosal musik ini.
Sesaat, dia terdengar terus menyanyikan liriknya dengan sempurna. Tiba-tiba saja suaranya menjadi parau, matanya dipejam, wajahnya mulai berbahasa resah akan kerinduan. Dia pun berhenti memaikan gitar dan berkata, "Ngk, ngk jalan lagi otak aku." Gitar itupun diletakannya. Saat ini saya tersenyum mengingat Saat itu. Akhirnya saya sedikit paham, seberapa besar rasa sayang laki-laki pertualang itu pada ayahnya.
"Ia, pasti, pasti kuselesaikan apa yang sudah ku mulai dan akan terus ku lanjutkan setelah inipun." Dia menjawab dengan nada tenang pertanyaan saya tadi sambil menyerumput dalam rokok ditangan kanannya .
Suasana semakin hening, sekali-kali terdengar sahut tawa di sela suara hujan dari sekerumunan muda-mudi yang sedang asik berfoto riya merayakan ulang tahun kawannya dibagian dalam toko. Setelah asik bercerita tentang bagaimana luar biasa sabar ayahnya menghadapi kekanakalan sang Zulfan Amroe remaja. Tiba-tiba wajah hitam manis yang mempunyai tompelan di pipi kanan itu menyerigai ke arah saya. "Ayah pernah saya buat marah sekali." Ujarnya diiringi tawa.
Zulfan bercerita. Setiap selesai magrib di kampungnya Lhoksemawe, Zulfan selalu harus pergi mengaji ke rumah Tengku (Ustad) yang tidak jauh dari rumahnya. sampailah pada sebuah malam, dia berencana bolos mengaji untuk sekedar nongkrong di warung kopi. saat dia tiba di lorong jalan menuju pengajiannya, diam-diam dia membungkus kitab dalam kain sarung dan meletakannya di bawah atap sebuah kandang ayam di lorong tersebut. Ketika sudah di anggap aman, dengan riang dia pun langsung berlari menuju warung kopi yang tidak jauh dari rumahnya.
Rencananya berbuat begitu, agar saat yang lain pulang, dia juga pulang dengan masih menenteng kitap dan kain sarung itu. Seakan-akan dia baru pulang mengaji dengan yang lainnya. Ya..dia memang nakal.
Dia masih tertawa saat menceritakan kenakalan yang membuat ayahnya marah besar padanya. "Saya sedang asik duduk di warung kopi, secara tiba-tiba saya melihat ayah dengan raut wajah marah bergegas menghampiri . Saya pun berlari tungang langang menuju lorong untuk mengambil kitab. Kemudian saya berfikir untuk apa berlari. Saya berhenti. Wajah ayah terlihat semakin marah sekali saat mendekati saya. Tanpa berkata apa-apa, ayah langsung mengayun tangannya ke arah saya. Beruntung saya dapat menghindar dengan cara mencongkok, dan berlari ke rumah bersembunyi dibelakang ibu." Kenangnya.
Sesampai di rumah, ayahnya pulang dengan masih memendam marah. Bukannya menghampiri Zulfan, tapi ayahnya langsung mengambil Vespa miliknya. Zulfan melihat kekesalan yang dalam atas prilaku bolos mengaji itu pada zulfan. "Ayah langsung mengengkol vespa dengan marah, lalu melaju kencang sekali ke arah pintu pagar yang tidak begitu besar. Seperti mau menabrakkan diri. Saya berlari sekencangnya mengejar ayah."
Zulfan lanjut berkata, "kalau dipikir-pikir, entah bagaimana saya bisa berhasil mengejar Vespanya dan merangkulnya dari belakang sambil terus menangis terisak-isak, saya peluk ayah dengan kuat. Lalu saya merengek ke ayah, ayah jangan marah. Saya tidak akan mengulanginya lagi," kata Zulfan berjanji pada ayahnya. Dan setelah kejadian itu, zulfan berusaha sebisanya tidak membuat ayahnya marah .
"Ayah begitu sayang dan paham saya. Kemarin dia sempat menelpon saya dan bertanya Peu ka peget di Metro TV (Apa yang kamu lakukan di Metro TV?)," kata Zulfan sambil menyeringai ke arah saya.
Beberapa waktu lalu Zulfan memang sempat diminta oleh senias muda untuk menjadi objek sebuah film Documenter yang berjudul “Sang mantan” yang akan diperlombakan di metro TV.
Film itu terkait pengalamannya pernah terperosok ke dunia narkoba yang sudah lama dia tinggalkan. "Saya bilang, ngak ada apa-apa Ayah, itu cuma berbagi pengalaman pada anak muda. Dan ayah memang selalu paham saya. Dia langsung menutup telpon setelah lagi-lagi tidak lupa mengigatkan saya untuk secepatnya menyelesaikan kuliah," tuturnya dengan menyiratkan wajah bangga akan ayahnya yang penyabar itu.
Saya terus bersambut tanya lebih dalam tentang bagaimana sosok sang ayah bagi Zulfan, dan seberapa penting pendidikan harus diselesaikan olehnya.
Bagi zulfan sendiri, pendidikan adalah suatu keharusan yang harus dimiliki oleh semua orang. Di sekian lama perjuangannya, dia mengajak saya menyelam melihat permata dalam jiwa masing-masing manusia.
"Salah, salah jika ada yang bilang pendidikan itu tidak penting."
"Selama masih hidup, kita tidak boleh berhenti belajar." Ucapnya dengan mengebu.
Lalu saya bertanya "Mengapa tidak menyelesaikannya dengan cepat seperti orang lain?"
“Saya sedang perjalanan menyelesaikannya.”
“karena pendidikan? Atau semata-mata karena permintaaan orang tua anda?”
"Tidak. Bagi mereka yang mendengar lamanya saya kuliah, mereka memang tertawa. Mungkin menganggap saya bodoh, tapi biarkan saja, setiap orang senang melihat tujuan, dari pada peduli terhadap prosesnya."
"Kalau mau dibandingkanpun, saya siap berkompetisi karya dengan mereka yang selesai kuliah dengan cepat. Hidup bukan cuma tentang apa yang kamu raih, tapi apa yang sudah kamu lakukan dengan ilmu itu untuk orang lain," paparnya.
Di belakang kami, pelayan toko terdengar krasak-krusuk membereskan kursi. Jarum jam ditangan saya pun sudah menunjuk pukul 1. Hujan sudah reda, kami pun beranjak pulang menuju kantor pemberitaan Online Atjehlink, yang juga jadi tempat tinggal bagi Zulfan . Tapi ceritanya belum selesai sampai disini.
Dalam perjalanan pulang mengendarai sepeda motor yang hanya berjarak setengah kilo meter saja itu, tiba-tiba saya teringat pada perbincangan Juan Arias dengan Paulo Coelho dalam bukunya SANG PENZIARAH buku itu berisi wawancaranya dengan penulis terkenal dengan buku terakhirnya VERONIKA MEMILIH MATI.
Sosok zulfan Amroe memang tidak se-manca negaranya Paolo, tapi di Aceh, karyanya berupa lagu, film documenter dan sepak terjangnya dalam aktivitas kampus maupun LSM. Sudah dapat dikatagorikan "Ngeri" untuk seorang yang ditertawakan oleh mereka yang kaya titel .
Sekelumit kesahnya ini, kembali berlanjut dalam kamar tidur, dan terus berlanjut meski listrik tiba-tiba padam. saya terus menjadi pendengarnya yang baik akan keresahannya. Karena saya tahu,jarang-jarang seorang Zulfan mengungkapkan tentang dirinya pada orang lain, dan entah mengapa saya merasa begitu beruntung dapat mendengar dan diizinkan menulis tentangnya.
Memasuki tahun ke-Tiga kuliahnya, pada 26 Desember 2004, Bencana Tsunami meluluhlantahkan pesisir Pantai Barat, Utara dan Banda Aceh. Zulfan, memang sudah Aktif di organisasi MAPALA Fakultas Hukum Unsyiah. Dimana dia mengaku pada saya, banyak ilmu yang bermafaat yang dia dapat disana. Dia juga Sempat dihempas tsunami, hingga akhirnya dia berhasil menyelamatkan diri ke Bandara Iskandar Muda. Berbekal jiwa pengorganisiran yang di dapatnya di UKM MAPALA dia akhirnya menjadi orang yang bergerak secara insiatif mendirikan penampungan pertama di daerah Blang Bintang. tepatnya di Desa Cot Mahdi.
Dia mengatakan, semua itu terpikir begitu saja, karena dia merasa sedih ketika melihat orang yang kocar-kacir dalam kepanikan, tidak ada yang mengendalikan kondisi tersebut. Akhirnya pada hari tsunami itu pula dia bergerak dengan inisiatif sendiri mengatur para pengungsi di dalam dan pelataran bandara yang telah luput dari segala aktivitas pesawat.
Selama dua tahun, dia rela menelantarkan kuliahnya demi mengabdikan diri demi masyarakat yang sudah dilanda kepanikan, tidak tau lagi arah tujuan hidupnya. Memberi subangsih moral dan menyalurkan moril sumbangan masyarakat luar negeri agar sampai ke tangan pengungsi yang saat itu dalam kondisi memprihatinkan. hal itu terus di kerjakannya saban waktu dalam kurun waktu 2 tahun tanpa pamrih.
Demi kegiatan mulia tersebut, Zulfan harus pun harus rela membiarkan sejenak masa studi selama 5 semester berjalan begitu saja.
Dia sempat mengatakan kondisi harus mengurus pengungsi pada seorang Dosen. "Tapi dia menjawab dengan kata yang terus tergiang dipikiran saya: Mengurus pengungsi itu bukan urusan kamu." Zulfan terdiam. Kedua tangannya sibuk memijit batang Kretek tanpa membakarnya. Ada benih kesedihan di matanya.
Dalam hitungan detik, dia kembali berkata dengan lembut dan terukur. "Bahaya sekali ketika seorang pendidik saja tidak paham Tridarma perguruan tinggi. Apa arti sebuah ilmu jika hanya untuk menyombongkan diri." Katanya dengan pelan, tapi tegas.
Zulfan juga mengatakan, yang sangat mengecewakannya lagi, pada saat dia mengurus pengungsi tsunami. Ada seorang dosennya yang juga menjadi pengungi dipenampungannya. “tapi mau dikata apa, tiada pemakluman apapun untuk orang yang tidak pernah tau arti memberi, padahal pada masa itu semua kacau.”katanya.
Relawan sudah mulai ramai berdatangan dari berbagai Negara. Zulfan harus kembali dalam aktivitasnya sebagai anak kuliahan disisa beban kuliah selama 2 tahun lagi menurut perkiraannya.
Namun setelah satu tahun berlalu, alangkah terkejutnya dia saat tau namanya terpajang sebagai salah satu mahasiswa yang dinyatakan akan DO. Namun dia berdalih, hal itu tidak benar. Sebenarnya dia punya 1 tahun lagi karena pada satu tahun yang lalu sebelum tsunami dia penah mengambil non aktif. Namun dia tidak dapat menunjukan surat keterangan dikarenakan rumah kostnya di kampung Laksana sudah terkena tsunami.
Tidak mau dianggap bohong dan sekaligus mencari keadilan. Dia mengumpulkan bukti slip pembayaran SPP Untuk membuktikan, bahwa benar dirinya tidak terhitung membayar SPP pada tahun tersebut.
Staf Admintarasi pada saat itu sudah mengiyakan secara lisan. "Ya sudah.. kamu kuliah saja." Tiru zulfan kata-kata Staf itu.
"Tapi pak, tolong buatkan secarik surat keterangan untuk pegangan saya," pinta Zulfan.
Dan staf tersebut lanjut berdalih, bahwa hal tersebut gampang. "Urusan dekan biar saya yang urus." Ketus staf Laki-laki itu, kata Zulfan.
Namun kenyataan tidak seperti dugaannya, namanya masih melekat dalam daftar DO. Keadilan terkadang memang banyak versi. Semua bisa di otak-atik terngantung keinginan yang mengadili dan siap yang akan di-adili.
Zulfan merasa tidak pernah berlaku tidak sopan pada gurunya. Namun, dia mengaku pernah menjabat sebagai Ketua BEM Hukum, dia berasumsi, mungkin ada dosen yang tidak senang dan tidak bisa berfikir objektif. Sehingga sifat tersebut di rasakannya tidak menjadikan beberapa tenaga pengajar di dalam fakultasnya menjadi seorang pendidik atau guru sebenarnya. Di tambah lagi ada kontra antara dosen ini-itu. "Siapa yang mau tau hal tersebut? Kenapa mahasiwa jadi bulan-bulanan ke-egoisan para dosen?." katanya dengan nada heran.
"Saya pasrah, tidak marah, tapi saya kecewa terhadap kualitas beberapa pengajar yang sebenarnya tidak punya jiwa mengajar. Apalagi mendididik! "Ucapnya dengan nada datar. Kini raut wajahya mengambarkan kegeraman. Sepertinya dia punya sekantung amarah yang ingin dikeluarkan, tapi terganjal sesuatu. Entah, entah apa yang menganjalnya. Mungkin, sabar.
Setelah dirinya tercantum dalam nama DO, dia merelakan diri harus pindah kuliah setelah berusaha berlaku jujur dan berusaha kesana-kemari menemui pemilik kekuasaan fakultas, seperti pada dekan untuk mengadukan perihalnya. Para pemangku Fakultas sempat mengelar rapat untuk memutuskan nasib Zulfan di fakultas Hukum tersebut. Namun, dalam rapat senat tersebut, keputusan pun tetap mengharuskannya pindah dari kampus Jantong hate rakyat Aceh.
Kekecewaan mengumpal didadanya, namun bagaimanapun juga, guru adalah guru. "Tidak perlu arogan atau membawa Backing seperti ada kawan yang lainnya, mereka tetap orang yang harus dihormati," Kata Zulfan setengah menasehati saya.
Usai diputuskan harus pindah atau Drop Out (DO), Kendati ingin melepas sedikit kekesalannya. Dia menyempatkan diri mengirim pesan singkat kepada seorang dosen wanita dari dua orang laki-laki yang sempat diketahuinya dari salah satu dosen lain: Bahwa mereka yang kekeh meminta pada dekan pada rapat senat itu, agar dia tidak diluluskan.
Begini isinya kata Zulfan. "Selamat ibu, anda berhasil". Dosennya pu langsung menelpon zulfan untuk mengatakan bahwa bukan dirinya yang minta dekan untuk tidak mempertimbangkan nasibnya. Zulfan pun hanya membalasnya lagi dengan ucapan terima kasih pada dosen tersebut.
Perjalanan pendidikan seorang Zulfan Amroe yang kerap di kenal dalam lingkungan sebagai sosok penuh inspirasi. Seorang yang berjiwa besar. Saat ini, perjuangan pendidikan sosok yang penuh karya yang betebaran dimana-mana itu masih berlanjut hingga detik ini tulisan tentangnya saya tulis.
Jalan kelam sudah terlewati, masa sulit telah berganti . hingga hari ini, dia terus berusaha sekuat daya upaya untuk meluluskan niatnya untuk terus mengapai pendidikan setinggi mungkin.
Kini, pelantun lagu Eh Malam Gam itu sudah melewati 2 semester di Universitas Abulyatama, Aceh, untuk melanjutkan studi S1 bidang Hukum Ketatanegaraan.
"Sebelumnya saya sempat ingin pindah ke kampus Muhamadiyah , kebetulan, seorang dosen di kampus lama saya menjadi Pembantu Rektor Tiga disana. Saya telpon untuk menanyakan perihal syarat pindah ke sana. Tapi dengan sontak dia menjawab, kamu tidak di terima di kampus ini. Saya merasa sedih, karena saya tidak pernah tau apa yang telah saya buat hingga seorang guru yang saya muliakan itu begitu marah pada saya. Saya tidak tau?" Kini wajahnya mengandung benih kesedihan. Pada kerutan kening dan tatap matanya terasa ingin jawaban yang sangat ingin dia tahu tentang kemarahan dosen atasnya.
Zulfan terlihat menyelipkan sebatang rokok lagi kesela jari tengah dan telunjuknya. Di tangan kanannya itu, terlihat melilit sebuah gelang dari serat kayu yang ikut diikatkan sebuah cincin besi berwarna putih. Tangan itu terlihat kaku saat dia mulai membakar rokok.
Saya masih mendengarnya dengan baik. Saya tersenyum. Dia tersenyum. Kemudian digerakan tangannya ke depan, seraya berkata. "Apa yang saya alami, biarkan jadi pelajaran bagi yang lainnya, karena pendidikan itu sangat penting. Salah bila karena ada masalah menghadang di tempat yang satu, kemudian berhenti mencari ilmu di tempat lain." Lagi-lagi dia menasehati saya untuk melanjutkan Studi ke S2 Pertanian. Saya hanya mengiyakan.
Tidak peduli seberapa tua dia untuk sekelas Sarjana S1, bagi Zulfan, tiada tawar-menawar untuk tidak menyelesaikan pendidikan. Pendidikan itu penting, katanya. Dia terus melaju meng apainnya dengan semangat yang terus muda. Zulfan memang tidak kenal lelah mencari ilmu.
Terkait impian mulianya menjadi seorang Guru dan mendidirikan sebuah yayasan dengan dasar pendidikan emosional,dia punya pandangan yang baik. Menurutnya, semua orang berbeda-beda. Seorang guru harus bisa menilai dengan banyak penilaian. "Seperti seorang anak misalnya, yang pandai berbicara belum tentu pandai matematika. Bisa saja anak lain mudah menghafal, tapi yang lain harus diingat dengan diajarkan secara praktek." Terangnya.
Menurut Zulfan sendiri, setiap pelajaran harus dipraktekan langsung setiap kali pertemuan. Tidak hanya dijelaskan secara teori. Karena ilmu itu harus diajarkan dengan pelan-pelan sampai si anak mengerti. Bukan cuma hanya mengejar habis kurikulum sehingga dinyatakan lulus. "kalau begitu ceritannya, si anak akan masak seperti buah karbitan, sehingga kalau di lempar ke masyarakat. Di takutkan dia tidak mampu membangun apa-apa. Semua ilmu ada prakteknya. bisa,baik atau tidak ilmu itu memang tergantung pendidiknya," Jelasnya.
Zulfan memang selalu memandang pendidikan itu tidak boleh cuma mengejar formalitas semata. Belajar itu di pandangnya dapat dari mana saja, pohon, daun, kambing, dan semua yang Alam di sekitar kita. Belajar, bagi zulfan tidak pernah mengenal kata cukup. Dia terus berkarya dalam hal apa saja di hari-harinya. Terus memberi apappun yang dia bisa. Dia berbeda dengan kebanyakan manusia yang pernah saya temui.

Lagi-lagi saya teringat saat jadi mentor mahasiwa baru. Setiap saya tanya untuk apa kamu kuliah?hampir rata-rata menjawab ingin mencari kerja. Ada juga yang sontak menjawab ingin jadi pegawai negeri. Sebagai anak, saya punya ketakutan melarat yang sama, yang akhirnya berujung mencari harta semata. Secara tidak sadar, kita menjadikan ladang ilmu sebagai pemberi kekayaan dengan menghalalkan cara apa saja. Padahal, sebaik-baiknya ilmu adalah prilaku yang baik.
Semua orang mencari kebahagian, tapi terkadang kita lupa: Bahwa kebahagian itu tidak bisa dibeli dengan uang. Kebahagian itu sangat sederhana. Seperti Zulfan, dia bahagia dapat memberi secercah harapan pada mereka yang kebingungan.
Sembari mengakhiri ceritanya, dia menanamkan sebuah nasehat lagi pada saya. "Setiap manusia harus bermafaat bagi orang lain. Tanpa itu, kita akan hidup jadi orang yang sia-sia." Maka yakinkanlah pada diri kita masing-masing, bahwa harta termahal manusia adalah Ilmu pengetahuan.

Credit foto: Reza Mustafa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar